Sunday, April 22, 2007

Genduk Jawa-Lampung: Kesayaan dan Ideologi

Genduk Jawa-Lampung: Kesayaan dan Ideologi
Oleh: Dina Amalia S.

Abstrak
Identitas selalu bergerak pada ruang dan waktu. Setiap orang memilih identitas kesayaannya berdasarkan konstruksi sosial dan budaya yang telah ada, termasuk patriarki.
Paper ini menyajikan proses pergerakan identitas saya yang lahir berjenis kelamin perempuan pada tahun 1977, antara dua masa Orde Baru dan Reformasi, sebagai keturunan etnis Jawa-Lampung, dan beragama Islam.
Tidak hanya itu, paper ini juga akan menelaah secara kritis “kesayaan” yang terbentuk melalui negoisasi dengan masyarakat, konstruksi sosial-budaya, pendidikan dan berbagai ideologi.
Paper ini juga akan membahas bagaimana “kesayaan” terkait dengan keliyanan.

Kata Kunci: Identitas, Kesayaan, Keliyanan, Konstruksi Sosial, Gender, dan Hibriditas

Pendahuluan
Keterputusan akar dengan satu budaya bukan suatu kehilangan. Kaum Poststrukturalis sebagai golongan yang anti-essensialis melihat bahwa identitas selalu bergerak, tidak tertutup kemungkinan menjadi selalu baru. Sejak manusia lahir, lingkungan telah menyiapkan seperangkat tatanan, tempat manusia akan tumbuh. Meskipun demikian setiap manusia berhak menentukan identitasnya sendiri, yaitu kesayaan yang terbentuk melalui negosiasi dengan masyarakat, konstruksi sosial-budaya, pendidikan dan berbagai ideologi.
Ketika saya menyadari perbedaan saya dengan leluhur, orangtua, dan adik-adik saya, tidak berarti mereka telah kehilangan identitas saya. Penyimpangan yang ada saya sadari sebagai pilihan yang kritis, dan sebagai suatu proses menjadi kesayaan.
Pilihan kritis merupakan penyikapan saya terhadap ketidakadilan yang pernah saya lihat, saya rasakan, dan saya pikirkan. Saya sebagai perempuan tidak akan menutup mata dan telinga bahwa ketiadakadilan yang saya maksud adalah bias gender yang terjadi di sekeliling saya (dalam seperempat abad lebih perjalanan hidup saya). Mengutip, Carol Hanisch dalam Humm (2002) Personal is Political[1], saya sengaja mengangkat proses pergerakan identitas kesayaan dengan kerangka ilmiah dan telaah kritis, bahwa ruang personal merupakan bagian dari ruang publik dan hubungan sebab-akibat dalam masyarakat.

Identitas Tidak Tetap

Nama dalam Hukum Ayah
Saya lahir pada tahun 1977. Sebagai bayi yang baru saja dilahirkan, saya belum mampu memilih bahkan untuk nama saya sendiri. Saya lahir berjenis kelamin perempuan, dengan nama Dina Amalia Susamto, adalah sesuatu yang harus saya terima sebagai identitas pertama saya saat itu. Susamto adalah nama ayah yang menandai garis kejelasan keturunan. Garis kejelasan keturunan atau nasab dalam agama Islam merupakan sesuatu yang penting. Dicontohkan dalam Surrah Nabawiyah, buku sejarah Rasul dan kenabian, hal ini kelak berkaitan dengan pemecahan masalah-masalah praktis seperti pembagian warisan, untuk memutuskan hubungan pernikahan karena ada yang boleh dinikahi dan tidak berdasarkan garis keluarga dan sepersusuan. Tahun-tahun kemudian tidak hanya saya yang ditandai dengan Susamto dibelakang nama. Semua adik-adik saya mempunyai nama keluarga.
Sebenarnya ayah melakukan itu untuk menandai generasi baru, semacam mempertegas garis keturunan. Ayah sendiri tidak mempunyai nama ayahnya di belakang nama. Alasan ayah memberi nama keluarga, katanya mengikuti hukum Islam seperti nama nabi, Muhamad bin Abdullah, atau kalau perempuan Aisyah binti Abu Bakar Asyidiq. Yang berbeda kemudian, kata “Bin” dan “Binti” dilesapkan.
Ayah dan Ibu beragama Islam, dengan demikian kelahiran saya menandai suatu penerus yang diharapkan sevisi dan semisi dengan mereka. Harapan itu tersirat dalam arti nama saya yaitu amalan-amalan agama anak perempuan Susamto. “Din” berarti Agama, “Amalia” berasal dari “Amaliyah” yang berarti amalan. Sampai saya besar, saya menerima nama itu, berusaha menjalani sebaik mungkin pesan dibalik nama itu, dan masih belum menyadari dengan kritis keberadaan anak perempuan dalam hukum patriarki. Kesadaran itu jauh saya temukan kemudian hari setelah menempuh beberapa tingkatan pendidikan dan membaca berbagai wacana ideologis. Saya menemukan istilah “The Law of Father”, [2] istilah Lacan yang menggambarkan simbolisasi, bahwa seorang anak begitu lahir akan memasuki suatu tatanan yang dibuat dalam hukum patriarki. Bagi saya sebagai perempuan berarti ayah adalah wali, jika ayah berhalangan atau telah meninggal posisi ayah digantikan oleh adik laki-laki atau paman dari pihak ayah. Perwalian berlaku sampai saya menikah. Dan setelah menikah saya berada dalam perlindungan suami. Baru setelah saya berstatus janda, saya bisa membawa diri saya sendiri, memutuskan tanpa wali.

Akar dan Keterputusan
Saya keturunan hibrid etnis Jawa-Lampung. Saya tidak bisa dikatakan Jawa lagi karena saya lahir dan besar sampai berusia 19 tahun di Lampung. Jika saya seorang Lampung, itu pun tidak benar, karena ibu saya juga keturunan pertama etnis Jawa yang lahir di Lampung. Ayah dan kakek nenek dari pihak ayah dan ibu masih bisa dikatakan Jawa. Tetapi pemahaman ayah tentang budaya Jawa pun mulai pudar, hanya samar-samar ingatan masa kecilnya. Tidak hanya itu, ayah bahkan secara sadar mengeliminasi beberapa budaya Jawa yang tidak relevan dengan ideologi ayah sebagai seorang Islam dari Muhamadiyah seperti upacara-upacara meruwat, peringatan kematian, puasa mutih, sesaji, tahlil, wirid. Muhamadiyah merupakan organisasi gerakan Islam yang menganut aliran Wahabiyah, yaitu aliran yang ingin membersihkan ajaran Islam dari Bid’ah. Dalam kehidupan kami sehari-hari penggunaan bahasa Jawa yang mempunyai tingkatan tidak dipraktikkan lagi di rumah. Saya berbahasa Jawa biasa (ngoko) dengan ayah dan ibu, nenek-kakek, tetapi sulit jika bertemu orang lain yang lebih tua dan beretnis sama, karena mau tidak mau kami harus menyesuaikan diri dengan pandangan masyarakat Jawa, misalnya jika berbicara dengan orangtua kami harus menggunakan tingkatan paling tidak yang kedua. Biasanya saya dan adik-adik belajar sendiri bahasa Jawa tingkat kedua untuk menghormati orang lain yang lebih tua misalnya tetangga dan saudara jauh. Saya tidak pernah menanyakan alasan ayah atau ibu tidak mengajari anak-anaknya bahasa Jawa bahkan tingkat kedua. Jika ayah menyengajakannya, itu berarti ayah siap menerima konsekwensi dari masyarakat Jawa terhadap keluarga kami. Tetapi saya pernah mendengar keluhan ayah mengapa kami tak bisa berbahasa Jawa dengan baik, sehingga akan membuatnya malu bila suatu saat diperkenalkan pada keluarga asal ayah di Boyolali. Dalam hal ini ayah tidak mempunyai alasan khusus pengajaran bahasa Jawa halus di rumah. Sebalik jika ayah ingin menghilangkan sistem tingkatan bahasa yang menandai lapisan-lapisan kelas sosial, dengan rasa malu ayah pada keluarganya, berarti ayah bersikap ambivalen.
Gambaran tentang asal-usul tanah kelahiran ayah, tidak pernah terperinci jelas kecuali menyebut nama desa Sambi, kecamatan Wonotoro, kabupaten Boyolali dan propinsi Jawa Tengah. Cerita-cerita itu banyak saya dengar sepotong-sepotong dari obrolan orang-orang jika sedang bernostalgia terhadap kampung halaman. Selebihnya saya mengetahui Jawa sebagai pulau yang memiliki banyak kota besar dan fasilitasnya, termasuk ibukota negara, kisah-kisah perjuangan pahlawan mengusir penjajah di Pulau Jawa, nama-nama kerajaan besar, dan wali-wali penyebar agama Islam. Ayah tidak berlangganan majalah Penyebar Semangat, yang berbahasa jawa atau mendengar lagu-lagu jawa dari radio atau kaset. Saya mendengar lagu-lagu jawa dari tetangga yang menyetel radio atau tape recorder keras-keras. Satu-satunya yang didengar ayah adalah wayang dari radio, dan sedikit sekali lagu-lagu yang dinyanyikannya seperti “Nyen Ing Tawang ono Lintang.”
Asal-usul keluarga ibu dalam pengetahuan saya tidak lebih baik dari pada pengetahuan saya terhadap keluarga ayah. Ibu keturunan etnis Jawa yang dilahirkan di Lampung, tepatnya kota Metro. Ayah dari ibu juga seorang transmigran dari Boyolali. Sedangkan ibu dari ibu berasal dari Kebumen. Dalam hidup saya, saya baru dua kali menginjakkan kaki ke Boyolali, dan belum pernah melihat Kebumen dari jarak dekat. Ibu lebih sedikit bercerita dibanding ayah tentang masa lalunya. Ayah dari ibu seorang pedagang yang sukses untuk jaman itu, sedangkan nenek dari ibu bekerja sebagai perawat, sebelum kemudian keluar dari rumah sakit milik pemeritah dan memutuskan untuk berdagang. Nenek dari ibu merantau sejak masih gadis bersama seorang adik laki-lakinya dan seorang kakak perempuannya. Menurut ibu, nenek merantau ke Lampung karena saat itu menghindari perjodohan dengan laki-laki di Kebumen.Nenek lahir tahun 1930an, menurut saya suatu yang langka perempuan jaman itu mengambil keputusan sendiri untuk menolak perjodohan dan pergi merantau. Saya tidak sempat bertanya, apakah nenek menikah dengan kakek atas pilihannya sendiri, tanpa ayahnya atau tanpa wali? Atau adik laki-laki nenek menjadi wali atau berwali hakim? Saya tidak sempat bertanya pendidikan nenek sampai meninggalnya, tetapi nenek perempuan yang mandiri. Ia bekerja di rumah sakit di Palembang. Tetapi sejak rumah sakit itu dibom oleh Jepang, nenek dipindahkan ke kota Metro. Setelah berhenti dari kerja di rumah sakit nenek berdagang sampai ke Palembang. Nenek bekerja menghidupi 12 anaknya, sehingga biasa baginya ketika kakek bangkrut dan sakit, nenek tulang punggung keluarga. Nenek tidak berhenti bekerja seandainya tidak tua, (70 tahun), sakit dan meninggal. Sekali lagi saya menyayangkan pertanyaan saya yang tidak terjawab, siapakah yang memutuskan ketika kakek sakit dan harus dipisah rumah dengan nenek. Apakah nenek sendiri, kakek, atau keluarga kakek.
Dulu ketika SMP saya merasa tidak diterima di mana-mana sampai saya bercita-cita bersekolah di Pulau Jawa untuk mencari akar saya. Teman-teman SMP saya sangat menarik karena lebih beragam secara etnis maupun status sosial keluarganya. Di kelas saya teman-teman banyak berasal dari etnis Lampung. Saya tidak dapat mengingat dengan pasti, untuk anak SMP apakah kami sering berbicara tentang asal usul. Tetapi yang paling menyakitkan saya, adalah bagaimana mereka bergaul dengan sesama mereka, dan saya kira bukan karena mereka menyadari bahwa mereka sesama etnis. Saya kira mereka memilih teman yang ayah mereka sama-sama satu tempat bekerja di Pemda, atau karena kesamaan latar belakang sekolah dasar. Mereka berasal dari SD swasta, SD teladan, sekolah swasta yang cukup favorit untuk anak-anak kalangan pejabat Metro. Dan itu lah kebanggan mereka, anak-anak pejabat dan banyak yang beretnis Lampung. Itu yang membuat saya gelisah dan menyadari bahwa etnis Jawa di Lampung, berasal dari keluarga petani. Meskipun ayah-ibu saya guru, tetapi saya merasakan sama seperti teman-teman yang berasal dari SD di pelosok Metro. Dan anak-anak SMP belum mengerti benar, pada jaman itu pun keturunan darah biru sudah tidak penting. Saya sering mendengar mereka bercerita ayah atau ibu mereka keturunan menak di Lampung. Saya sebagai anak SMP terpengaruh untuk memikirkan siapa saya, dari keturunan seperti apa.
Identitas saya dibangun oleh ayah. Pertanyaan tentang darah biru sering dijawab ayah dengan humor yang sampai sekarang sering dibicarakan ulang sebagai bahan tertawa bagi saya dan sepupu-sepupu saya. Karena ternyata bulek, adik ayah pun sering bercerita hal yang sama. Katanya kakek keturunan darah biru, yang intinya justru ayah dan bulek hanya mempermainkan tidak pentingnya darah biru itu. Bagi saya kemudian bangsawan atau tidak memang tidak penting, tetapi saya melihat dalam diri ayah kalimat itu sebagai resistensi terhadap rasa rendah diri kalangan rakyat biasa yang hidup miskin. Terbukti adanya perkataan lain tentang Amin Rais, mantan Ketua Umum Muhamadiyah, ayah mengatakan, kalau saja ia dulu memperoleh kesempatan pendidikan dan fasilitas yang sama seperti Amin Rais, tentu ayah bisa bersaing dengannya.
Sedang untuk anka-anaknya yang paling penting kata ayah, saya dan keluarga beragama Islam. Sampai saya SMA pun belum berpikir, mengapa saya memilih beragama Islam. Seumur anak SMA, saya baru berusaha beda dari ayah dengan memilih sendiri jurusan yang berlawanan dengan pilihan ayah, mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilarang ayah seperti naik gunung tiap liburan semester, membicarakan lawan jenis bukan dengan ayah atau ibu, membaca buku-buku yang dilarang ayah, seperti buku bacaaan ayah “Islam Rasional” yang saya temukan di lemarinya. Saya tertarik tapi belum memahami buku itu, tetapi saya lebih senang membaca novel-novel populer. Saya diam-diam sering menganalisis sumber masalah-masalah keluarga yang akan menghambat masa depan saya dan adik-adik. Saya kira, benih pemberontakan itu dulu baru sampai pada tahap cita-cita kuat untuk bersekolah jauh dari orangtua. Itu pun menggunakan spirit yang ditanamkan ayah bahwa merantau akan mengajari saya dan adik-adik hidup mandiri, dan menjadi orang sukses. Ayah menginginkan anak-anaknya mempunyai kehidupan lebih baik dari dirinya, seperti juga orang tua lain. Kehidupan lebih baik itu dapat dirintis melalui pendidikan. Saya kira dengan ayah berkata merantau dan sekolah setinggi-tingginya, ayah telah memberikan infrastruktur bagi saya menemukan identitas kesayaan yang selalu baru. Tidak benar-benar Jawa, bukan sungguh-sungguh Lampung , tetapi anak yang beragama Islam, dan pelajar yang bercita-cita tinggi untuk berbuat sesuatu bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain.

Asimilasi dan Ketegangan BudayaAsli Lampung Versus Liyan
Saya berpikir bagi orang asli Lampung, saya adalah liyan-nya, termasuk seluruh etnis Jawa, dan etnis-etnis lain yang menempati tanah Lampung. Liyan mengacu pada Satre dalam buku Being and Nothingness, dalam Gadis Arivia(2003), Liyan dapat menjadi subyek. Bagimana Liyan dilihat oleh orang lain, dan bagaimana orang lain dilihat oleh “saya”.
Selama saya sekolah di SD, saya memikirkan guru-guru saya yang berasal dari etnis yang berbeda.Beberapa berasal dari etnis Lampung. Saya pikir sekarang, ternyata orang Lampung tidak seseram yang diceritakan tetangga, ibu, bulek, dan kadang-kadang ayah. Meskipun demikian sampai sekarang pun saya masih mendengar stereotipe tentang orang Lampung yang negatif. Orang Lampung itu terlalu meninggikan harga dirinya, sehingga meskipun miskin sering berlaku sabagai orang kaya. Orang Lampung lebih senang menjual ladangnya untuk membeli barang-barang, tetapi jika musim panen tiba, merasa tanah yang sudah dijual itu masih sebagai miliknya dengan ikut memanen hasil tanam.
Saya besar di lingkungan diaspora etnis Jawa. Orang-orang Jawa yang bertransmigrasi ke Lampung dulu berkumpul dan mendirikan desa-desa serta menamainya seperti nama tempat-tempat di Jawa. Seperti Yosomulyo, Yosodadi, Kecamatan Pekalongan, Jepara, dan lain-lain. Kota saya adalah kota kecil bernama Metro dulu ibukota Kabupaten Lampung Tengah. Di tempat lain ada nama-nama seperti Kampung Cina, Kampung Banten, Bali dan lain-lain. Dampak negatif dari pengelompokkan ini ternyata adanya stereotipe tentang mereka yang berkesan hingga sekarang. Saya masih dapat mengingat sekali-sekali ada perkelahian antar etnis misalnya Banten-Bali, Jawa-Lampung, karena soal-soal sepele. Saya pun masih mempunyai kesan mengerikan tentang perjalanan saya ke desa kakek saya yang ada di dalam alas, dan harus melewati kampung orang Lampung. Desa kakek saya dikenal dengan Tanjung Harapan terletak di kecamatan Pugung Raharjo bertetangga dengan Jabung. Waktu kecil bulu kuduk saya sampai merinding begitu melewati kampung orang Lampung, yaitu kampung Bojong, dan ketakutan ketika berpapasan dengan mereka di ladang-ladang. Saya mendengar orang Lampung suka merampok, membadik orang, merongrong ladang orang Jawa. Tetapi suatu ketika ayah saya pernah bercerita bertemu dengan orang Lampung yang baik hati di tengah ladang. Ayah berbincang dengan orang tersebut, dan ayah menyimpulkan tidak semua orang Lampung jahat, saya merasa lega.
Di sekolah saya melihat ibu saya bergaul akrab dengan rekannya sesama pengajar meskipun berbeda etnis, Jawa dan Lampung. Di rumah ibu sering memasak resep makanan yang diberi temannya orang Lampung. Saya menikmati sambel Lampung yang serba mentah dicampur mangga dan sedikit ikan disebut sambal sruit, dimakan dengan lalap daun jambu mente muda, masakan pindang lampung, yang sampai hari ini menjadi bagian dari budaya saya dan keluarga di Lampung. Akan tetapi, berbeda hasilnya ketika saya mempelajari bahasa lampung, dan sedikit dongeng-dongeng tentang Lampung, lagu-lagu Lampung dari sekolah, tidak ada yang berkesan di kepala saya kecuali satu lagu Lampung “Sang Bumi Ruwai Jurai”. Lagu berisi tentang puji-pujian atas tanah Lampung yang subur dan kaya. Lagu itu berkesan karena diajarkan bukan oleh guru bahasa Lampung, tetapi calon guru-guru muda yang sedang praktik lapangan.
Menurut saya penanaman budaya Lampung di sekolah bagi murid-murid keturunan etnis lain terasa dipaksakan, karena sehari-hari budaya itu adalah liyan bagi non-lampung. Pelajaran itu seperti doktrin untuk mengenalkan kelampungan pada anak-anak. Tetapi kenyataannya sehari-hari saya bicara dalam bahasa Jawa, dan sehari-hari saya menulis dalam bahasa Indonesia. Begitu juga teman-teman yang keturunan pendatang dari etnis lain. Saya kira tak bisa dipungkiri Lampung yang multietnis harus mulai memikirkan kebijaksanaan yang multikultural termasuk dalam kurikulum pendidikan. Pengajaran budaya dan bahasa Lampung di sekolah menunjukkan lemahnya budaya Lampung sehari-hari dalam masyarakat.. Hal ini menyebabkan menyingkirnya budaya asli Lampung. Lampung telah berganti menjadi suatu identitas baru.
Mempermasalahkan orisinilitas, apakah etnis Lampung yang sejak pertama mendiami tanah-tanah yang sekarang menjadi propinsi Lampung merupakan asli etnis lampung? Saya menganalisa, ras ataupun etnis pada masa sekarang tak ada yang murni. Percampuran atau hibriditas sudah ada sejak ras dan etnis satu sama lain berinteraksi dalam bentuk penaklukan atau hubungan perdagangan. Etnis Lampung merupakan bagian dari ras melayu yang tersebar di Sumatra, Jawa, Bali, Flores dan Kalimantan. Ras Melayu terdiri dari berbagai etnis termasuk Lampung. Sejarah penaklukan kerajaan-kerajaan untuk perluasan wilayah sudah ada sejak zaman Sriwijaya seperti yang diceritakan dalam prasasti Palas Pasemah, menurut Boechari dalam Poesponegoro dan NotoSusanto(1993), sekitar akhir abad VII, terdapat peringatan penaklukan Sriwijaya terhadap Lampung Selatan. Prasasti Palas Pasemah ditemukan di tepi sungai (Way) Pisang,anak sungai Sekapung, Lampung Selatan.
Jika hibriditas sudah berlangsung sejak lama, bagaimana menyusun konsep orisinilitas?Bagaimana syarat asli atau putra daerah itu dipertahankan untuk memilih kepala daerah dalam era desentralisasi?

Pendidikan Perguruan Tinggi I dan Phallogosentris
Phallogosentris[3] merupakan konsep Derrida yang menerangkan, bagaimana patriarki membuat model pemikiran dan bahasanya. Sejak zaman filsuf klasik dimulai dari Plato hingga filsuf modern Jhon Stuart Mill, bahkan filsuf abad kontemporer dari Satre sampai Jean Baudrillard, pemikiran-pemikiran mereka mendominasi perempuan bahkan bersifat misoginis. Menurut Gadis Arivia (2003):

Salah satu kesalahan fatal para filsuf laki-laki sepanjang jaman adalah upaya mereka untuk selalu mengklaim bahwa pandangan mereka tentang perempuan adalah pandangan yang universal dan bahwa mereka mempunyai legitimasi atas pernyataan-pernyataan mereka tentang perempuan. Misalnya, ini terlihat dengan adanya istilah-istilah “man” dalam filsafat manusia dengan pengandaian termasuk perempuan…..

Saya ingin mengatakan mengapa perguruan tinggi bernuansa phallogosentris. Sebenarnya tidak hanya perguruan tinggi. Sejak masa saya sekolah, SD sampai SMA, saya dan siswa-siswa lain telah diajar dalam lingkup kebenaran tunggal, yaitu kebenaran yang dalam istilah feminis merupakan kebenaran yang berasal dari aturan patriarki. Aturan itu kuat berakar dalam seluruh aspek budaya. Kebenaran tunggal ini tercipta dari adanya yang dominan yang menganggap yang lain tidak dapat dipahami, sehingga yang dominan membungkam yang lain. Saya masih melihat itu sampai sekarang untuk anak-anak SD sampai dengan SMA, ketika belajar privat pada saya untuk pelajaran-pelajaran sekolah, mereka masih takut berbeda dengan guru-guru mereka di sekolah. Demi sebuah nilai di rapor mereka memilih dengan terpaksa jawaban dan penyelesaian soal yang sesuai dengan keinginan guru sekolah, meskipun kenyataannya belum tentu benar. Masuk perguruan tinggi pun kebenaran tunggal ini tidak goyah bahkan dilegitimasi dalam kuliah dasar-dasar filsafat. Filsafat yang dianggap sebagai dasar dari seluruh ilmu, dan menyatakan universalitas, apalagi memasuki filsafat modern sejak Descartes yang membuat dikotomi mind/body, rasionalitas di atas tubuh, maka lahir lah kemudian ilmu-ilmu yang jika tidak rasional dianggap bukan ilmu. “Saya berpikir maka saya ada”, mengimplikasikan standar logika dan mengenyampingkan ilmu-ilmu yang bersifat intuitif.
Perguruan tinggi juga merupakan hasil modernisme yang mengaliniasi manusia perempuan dan laki-laki dari lingkungannya. Meskipun di Indonesia dalam Tri Darma Perguruan Tinggi terdapat salah satu bakti kepada masyarakat, akan tetapi, bakti kepada masyarakat mana menjadi persoalan. Kebanyakan bakti lebih ditujukan kepada pemenuhan tenaga kerja untuk sektor-sektor industri. Padahal konsep industri lebih berat pada penguasaan sumber daya alam, termasuk manusia dengan keterikatan kontrak jam kerja yang kaku dan penanaman serta pengaturan konsumsi, daripada konsep industri yang ramah lingkungan dan kemanusiaan.
Perguruan tinggi bagi saya adalah tempat berbagai benturan ideologi. Saya ingat, pesan ayah ketika saya berngkat merantau ke Bandung untuk kuliah di Universitas Padjajaran, Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Jerman. Sejak SMP saya menginginkan belajar Sastra yang menurut saya dapat membantu saya mengembangkan bakat-bakat saya di bidang seni sastra. Sastra Jerman hanya pilihan yang tak pernah mendapat alasan khusus. Selama saya kuliah, saya tidak boleh sekalipun mengikuti demonstrasi dan pergi ke diskotek. Pesan itu mengandung nilai ideologis religius dan politis yang ditanamkan ayah kepada saya yang anak perempuan. Tidak pergi ke diskotek adalah bentuk proteksi, dengan pertimbangan bahwa tempat itu mengancam bagi saya. Tidak boleh mengikuti demonstrasi dapat bermakna proteksi dan secara politis, meredam ekspresi saya untuk berlaku kritis. Sebenarnya ayah memberikan peluang semua anak-anaknya bersikap kritis. Pandangan ayah terhadap realitas, menanamkan idealismenya pada anak-anaknya, sangat saya sadari membentuk karakter saya dan adik-adik. Tapi jika berhadapan dengan otoritasnya, pengalamannya sebagai orangtua yang lebih dulu tahu, maka sikap ayah ambivalen. Pengalaman ayah terhadap masa lalunya yang pahit terhadap organisasi sosial, tertuang dalam larangan. Tetapi sebagai anak yang telah menganggap diri dewasa sejak jauh dari orangtua, saya sudah berani memilih dengan konsekwensi yang dapat saya pertanggungjawabkan.
Antara ideologi yang telah tertanam di kepala saya, dan ideologi baru yang saya dapatkan dari ruang kuliah saling berbenturan. Misalnya, ketika kuliah dosen saya, seorang doktor dari Jerman, mengatakan bahwa perang salib itu bukan perang antar agama antara Kristen versus Islam. Perang Salib adalah perang perebutan kekuasaan. Saat itu saya gelisah mempertanyakan mana yang benar antara ideologi ayah yang mengajarkan perang salib sebagai perang suci atas nama membela kebenaran Islam atau perang hanya memperebutkan kekuasaan. Akan tetapi saya pikir sekarang, baik ideologi ayah maupun ideologi dosen saya, keduanya adalah ideologi laki-laki memandang peperangan. Perang bagi saya adalah kerusakan. Suatu keputusan yang dirasionalkan dan dilegitimasi atas nama kesenangan laki-laki terhadap tindakan agresif. Contoh yang saya sebutkan diatas, hanyalah satu diantara benturan-benturan ideologi yang lebih banyak berasal dari satu sumber yang telah mengakar, patriarki.

Krisis Identitas Antara Utopia Sebagai Perempuan dan Kenyataan
Membaca tulisan saya di atas, terlihat begitu besar pengaruh ayah dalam hidup saya. Sebagian besar pengarahan inteletual dan patner berdiskusi saya dapatkan dari ayah. Tetapi keputusan terakhir ada pada diri saya sendiri. Dulu saya menganggap ibu sebagai benteng terakhir yang membela saya jika ada perselisihan antara saya dan ayah. Jika ayah tidak merestui, maka restu ibu, saya jadikan pengantar langkah saya dengan alasan ibu yang melahirkan saya dan bukan ayah. Sebenarnya saya lebih takut tidak direstui ibu daripada tidak direstui ayah. Saya bahagia ibu menjadi penyokong utama setiap keputusan saya. Ibu lebih mudah mempercayai keputusan anak-anaknya meskipun belum tentu memahami mengapa keputusan itu yang dibuat. Ibu tidak pernah menghambat jalan kami. Meskipun ibu seringkali harus bertengkar dengan ayah untuk membela anak-anaknya. Dalam hal keberanian menanggung resiko, saya percaya ibu lebih berani daripada ayah.
Akan tetapi, untuk menyadari besarnya pegaruh ibu pada saya, harus melewati rentang waktu yang panjang dan dari jarak yang jauh. Dari perantauan saya melihat sosok ibu kembali terutama setelah ayah meninggal.Saya sudah menemukan jawaban untuk diri saya sendiri, mengapa ayah lebih dulu meninggal daripada ibu. Usia memang di tangan Tuhan. Tapi saya sulit membayangkan jika ibu saya lebih dulu yang meninggal. Saya percaya, saya tidak akan menjadi diri saya seperti sekarang, berada di Universitas Indonesia untuk mengambil S2. Sebab, ibu lebih kuat daripada ayah. Ibu lebih berani menanggung resiko, ibu lebih banyak berbuat daripada mempertimbangkan. Ibu tidak pernah ragu-ragu.
Saya masih mengingat, peristiwa pengambilan keputusan tanpa memberitahu ayah, saya mendaftar perguruan tinggi di luar Lampung. Ayah sangat marah dan berharap saya tidak lolos seleksi UMPTN. Ayah marah karena meragukan tekad saya, mengingat saya terlalu sering sakit, dan itu menjadi penghakiman bahwa saya tidak mampu hidup sendiri jauh dari orangtua. Ibu membela saya sehingga mereka bertengkar. Pertengkaran suatu hal biasa dalam rumah tangga. Tapi bagi saya dan adik-adik, pertengkaran di hadapan kami adalah salah. Dan pertengkaran yang paling menyakitkan adalah yang diwarnai kekerasan fisik yang dilakukan ayah pada ibu. Dalam posisi itu sejak SMP dulu saya dan adik-adik selalu membela ibu. Sejak SMP saya sudah tahu kekerasan fisik itu suatu kejahatan. Satu hal yang saya belum tahu bahwa kekerasan fisik suami atas istri bisa dilaporkan pada yang pihak berwajib atau kantor peradilan agama.
Belajar dari penderitaan ibu, saya bertekad untuk mengambil keputusan, menjauh dari orangtua. Kalaupun saya dan adik-adik tetap berada di samping ibu, kami hanya anak-anak yang tidak kompeten melindungi ibu. Tetapi melindungi ibu bagi saya sesuatu yang utopis. Perempuan tertindas, karena perempuan memiliki naluri feminine untuk merawat, mencintai, melindungi. Apakah itu mesti diganti dengan naluri agresi? Saya kira itu bukan jawaban. Tidak menjadi diri sendiri dan mempersamakan diri dengan laki-laki sama dengan mengukuhkan otoritas mereka. Ketika saya belajar menjadi perempuan yang beranjak dewasa, saya berusaha memahami mengapa ibu dulu mempertahankan pernikahan dengan ayah, mengapa ibu masih saja mendukung ayah dalam karir dan mentalnya, mengapa ibu membela kami untuk menerima rasa sakit bertengkar dengan ayah, saya tidak lagi menganggap ibu masokis. Waktu di bangku S1 saya pernah menganggap ibu terlalu lemah posisi tawarnya. Saya saat itu membaca Freud, dan begitu bersedih menyadari keterbatasan perempuan. Dari keterbatasan seksual, sampai keterbatasan pengambilan keputusan pada dirinya sendiri yang berpengaruh pada sosial politik di masyarakatnya. Saya juga marah pada diri sendiri atas pertanyaan mengapa saya berada dalam bayang -bayang ayah saya. Saya pernah berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapat teman berbicara, tetapi saya tidak pergi lagi sejak saya diberi obat. Untuk bayang-bayang ayah, psikolog itu menjawab bahwa suatu hal yang wajar, karena saya lebih lama hidup berdekatan dengan ayah selama 19 tahun dibanding waktu merantau yang belum sampai 6 tahun. Jawaban dan obat itu membuat saya semakin frustasi. Ketika saya mengajak bicara, saya adalah subyek yang ingin berbagi, tetapi seperti perguruan tinggi, institusi seperti rumah sakit pun dikuasai oleh phallusentris yang menganggap saya hanya seorang pasien pesakitan obyek ilmu kedokteran. Jawaban yang sebenarnya baru saya temukan sendiri ketika ayah sudah meninggal dan saya melihat bagaimana ibu menerima ayah apa adanya. Ibu memaafkan ayah dan sebaliknya sebelum meningga ayah begitu memaafkan ibu. Saya menemukan kata kunci. Cinta adalah obat yang terampuh.
Cinta sebagai teori adalah suatu yang subyektif dan sulit dijadikan ukuran. Ketika cinta datang pada saya, ber-evolusi kembali dengan seorang laki-laki, keputusan untuk pergi atau tinggal teralami sebagai suatu yang sulit. Saya kembali frustasi ketika gagal bernegosiasi, sehingga kembali terjebak di bawah bayang-bayang keputusan laki-laki. Tetapi jika saya bertanya pada diri sendiri, apa yang saya inginkan ketika sejak dulu berusaha mengambil keputusan sendiri. Menjadi korban atau bukan tergantung kepada cara saya memandangnya. Pertama, saya berusaha memberontak terhadap otoritas ayah dan lebih luas lagi dominasi patriarki. Sekarang saya tidak berusaha menanggalkan nama ayah di belakang nama saya. Sikap seperti itu saya ambil sebagai pilihan yang sukarela karena kecintaan saya pada ayah. Kedua, saya ingin mengenali diri saya sendiri, mempunyai pandangan terhadap diri sendiri dan berhak memandang yang lain di luar saya dengan bahasa saya. Ketiga, saya ingin mengkomunikasikan diri saya sebagai pribadi yang terbuka terhadap kritik orang lain dan berempati terhadap sudut pandang orang lain. Keempat, saya ingin memutuskan sendiri bahwa saya dapat hidup bahagia dan berbagi dengan orang lain.

Menulis Sebagai Kesadaran Saya
Saya menulis sejak SD. Saya ingat bagaimana saya bekerja keras menyelesaikan satu karangan saya untuk mengikuti lomba menulis untuk tingkat SD. Semakin bertambahnya usia, saya menyadari menulis bagi saya tidak saja kesenangan tapi penting untuk mengingat tiap peristiwa dan setiap mimpi yang harus saya perjuangkan. Tiap peristiwa yang membebani hidup saya terasa lunas setelah menuliskannya. Ketika saya menganggur, menjadi pekerja sosial, memasuki dunia kerja dengan upah rendah dan tanpa penghargaan, masa mengenal dengan dalam suatu relasi dengan lawan jenis, masa ingin melanjutkan sekolah, suatu waktu dapat menjadi kajian kritis, seperti yang saya coba dalam tulisan ini.
Menulis bagi saya juga sebagai proses memahami keterkaitan antara masa lalu, kini dan nanti, agar sejarah ketertindasan yang dialami perempuan tidak berlangsung terus menerus, terutama pengalaman nenek, ibu, saya dan kelak anak perempuan saya dan seterusnya. Yang tidak ingin saya lewatkan, bagimana saya tidak ingin kehilangan seperti hilangnya pengalaman nenek dan sebagian pengalaman ibu karena tidak ada jejak yang dapat dibaca.
Saya menulis memakai bahasa, tetapi seperti juga pelajaran mengarang di sekolah dasar dulu, selama status saya sebagai pelajar, saya harus menulis sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah resmi ditetapkan kecuali untuk tulisan di luar lingkup status pelajar atau mahasiswa. Aturan itu untuk saat ini saya sepakati, karena saya masih pembelajar. Tapi suatu saat saya pun berharap, seperti Helene Cixous dalam Gadis Arivia(2003) tentang l’ecriture feminine atau feminine writing, Gadis mengutip wawancara Vetena Conley terhadap Cixous. Femine writing adalah:

“ menyentuh aspek-aspek penulisan yang bebas, dengan bahasa yang membebaskan, penekanan kata-kata yang tanpa beban. Kita tentu tidak dapat membayangkan pembebasan politik tanpa pembebasan lingustik, ini jelas, semua orang tahu. Orang ingin memakai bahasa-bahasa lokal karena ingin lari dari bahasa bapaknya, yang bersifat otoriter. Tentu ini pekerjaan berat.”

Simpulan

Proses pergerakan identitas diwarnai dengan konflik antara diri dan di luar diri yang terinternalisasi maupun yang tidak dalam arti berdiri secara toleran. Proses negosiasi menghasilkan fusi sosial sebagai kesayaan yang dipilih secara sadar oleh subyek. Proses tersebut akan terus berlangsung sepanjang hayat selama identitas terbuka bagi penemuan-penemuan diri yang baru.
Menulis merupakan salah satu bentuk ekspresi yang menjadi jejak proses pergerakan identitas. Menulis bagi saya merupakan tindak kesadaran terhadap pengalaman diri dalam melihat kesayaan dan liyan serta negosiasi sebagai perempuan yang manusia.

Daftar Pustaka:

Arivia, Gadis. 2003.Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Barker, Chris.2000. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publication.
Woodward, Kathryn. 1999. Identity and Defference. London: Sage Publication.
Humm, Magie. Terjemahan Rahayu, Mundy.2002. Ensiklopedia Feminis.Yogyakarta:Fajar Pustaka Baru.
Poesponegoro, Djoened, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1993.Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta:Balai Pustaka





































[1] Istilah ini pertama kali digunakan oleh Carol Hanisch yang dipubliksaikan dalam Notes from the Second Year (1970) dalam Magie Humm (2002)
[2] Istilah yang dimaksudkan Lacan untuk mendeskripsikan aturan simbolis, yaitu aturan Bapak yang digumnakan dalam suatu masyarakat, dalam Gadis Arivia “Filsafat Berspektif Feminis”.
[3] Phallogosentris berasal dari dua istilah, “Phallusentris” yang artinya menurut Maggie Humm “Ensiklopedi Feminis”, suatu anggapan masysrakat bahwa penis merupakan simbol kekuasaan. Sedangkan “Logosentris dalam label Derida untuk pemikiran Barat sebagai logisentris, karena memberikan hak istimewa pada simbol.